Kamis, 16 Juni 2011

Revitalisasi Kualitas Lingkungan

Jendela Ekologi

Revitalisasi Kualitas Lingkungan

Oleh : Rudiono
Ditulis pada : 11 November 2010
 
 

Masyarakat mungkin telah akrab dengan istilah pemanasan global (global warming). Mungkin benar sebab akhir-akhir ini sedang santer diperbincangkan dan diberitakan diberbagai media baik media cetak maupun media elektronik. 
Efek gas rumah kaca (GRK) merupakan faktor utama dari adanya pemanasan global ini. Gas rumah kaca antara lain uap air, karbondioksida, dan metana yang menjadi perangkap radiasi gelombang pendek pada atmosfer bumi. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
 
Akar masalah sebenarnya adalah penggunaan bahan bakar fosil (bahan bakar minyak, batubara dan sejenisnya, yang tidak dapat diperbarui) yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Penggunaan bahan bakar fosil menyebabkan emisi karbon, sehingga apabila terus dilakukan maka secara otomatis terjadi akumulasi emisi karbon di atmosfer bumi. Dampak dari itu adalah menipisnya lapisan ozon (O3) di lapisan stratosfer pada atmosfer bumi.
 
Protokol Kyoto
Agenda yang dilakukan dalam Coference on Parties (COP) di Bali, Copenghagen dan akhir tahun ini di Meksiko, sebenarnya melanjutkan kesepakatan mengenai Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) yang diusung dalam Protokol Kyoto duabelas tahun silam. Dari sana disebutkan bahwa setiap negara maju didunia memiliki kewajiban mengurangi jumlah emisi sebanyak 5,2% dari jumlah emisi tahun 1999. Sebaliknya, negara berkembang tidak diwajibkan (kesediaan sukarela saja) kearah yang demikian, malah negara berkembang dapat menuntut kompensasi dari emisi yang dihasilkan oleh negara maju.
Negara maju yang perekonomiannya banyak ditopang dari kegiatan industri banyak memakai bahan bakar fosil sebagai bahan bakar utama operasional pabrik. Oleh sebab itu sumber pencemaran udara terbesar berada di negara-negara maju. Pemakaian bahan bakar fosil dapat ditekan melalui alih teknologi yang memanfaatkan sumber tumbuhan sebagai bahan bakar seperti tanaman Jarak Pagar, Ketela Pohon, dan Kelapa Sawit.
Dalam Protokol Kyoto sendiri jika sesuai diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050. Tapi semua itu tidak sekedar harapan belaka apabila setiap negara yang meratifikasi Protokol Kyoto benar-benar menerapkan Mekanisme Pembangunan Bersih secara konsisten. Tidak hanya dari pemerintahnya saja, namun upaya ini perlu dukungan dari semua pihak. Dalam hal ini masyarakat dapat berperan banyak membantu rehabilitasi dan konservasi hutan sebagai upaya reforestasi.
 
Ramai-Ramai Menanam Pohon
Suatu fenomena yang boleh dibilang sedang gencar dilakukan oleh banyak instansi. Tampaknya kesadaran akan pentingnya hutan bagi kehidupan kita mulai dimunculkan kembali melalui kampanye menanam pohon. Menteri Kehutanan mengkampanyekan “Menanam Dahulu Baru Memanen”. Suatu upaya yang benar-benar menggugah seluruh komponen bangsa untuk turut andil mengurangi dampak pemanasan global. Semoga usaha-usaha seperti ini dapat berhasil baik.
Pertanyaan yang timbul adalah mengapa kampanye tersebut baru gencar saat ini? Mengapa tidak dari dahulu? Itulah realita yang kita jumpai. Padahal pada era Orde Baru saja kita mengenal Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN), tapi tampaknya masih kalah semarak dibanding akhir-akhir ini. Bisa saja ini bermula dari sebuah penyesalan, bahkan upaya ini tidak lebih adalah kelanjutan dari program pemerintah Orde Baru tersebut.
Jika ini sebuah penyesalan, maka penyesalan ini timbul ketika hutan kita telah banyak yang hilang, sehingga mengakibatkan ketidak adanya keseimbangan alam. Juga disebabkan oleh kecerobohan program pembangunan sebelumnya. Anggapan yang salah apabila dahulu para penjarah hutan dianggap penyelamat perekonomian Negara karena mendatangkan devisa dari kegiatan ekspor kayu yang begitu besar. Bahkan lebih ironi lagi, para cukong kayu sempat mendapat jabatan strategis di pemerintahan. Maka tidaklah mengherankan jika “beliau-beliau” lah yang membuka peluang bagi penjahat-penjahat baru dalam praktek illegal logging saat ini.
Praktek illegal logging diberbagai daerah lebih banyak membawa dampak buruk bagi keseimbangan alam. Bencana akibat praktek ini seperti banjir dan tanah longsor sudah sering terjadi di beberapa wilayah seperti Aceh, Riau, Sumatera Selatan, dan sebagian daerah di Sulawesi. Selain itu juga menimbulkan bencana internasional berupa Global Warming. “Dunia memang sedang terancam”, mungkin ungkapan itu cukup relevan untuk menggambarkan kondisi saat ini.
Tak perlu berlama-lama lagi, sudah saatnya lah kita bantu usaha pemerintah dalam menghijaukan kembali bumi kita. Memang ini sebuah tuntutan dan juga beban warisan yang harus ditanggung oleh generasi saat ini. Mau tidak mau harus kita lakukan dan tidak ada kata lain. Ada dua pilihan, hidup di bumi yang sejuk atau hidup di planet bumi yang makin lama makin panas?

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Dcreators